Posted by : Unknown
Wednesday, 17 August 2016
BAB
1
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan Negara yang kaya akan
suku-suku disetiap daerahnya,dalam suku satu memiliki adat istiadat yang sangat beraneka ragam
dalam segala aspek. Salah satu contoh yaitu Rabu
Pungkasan yang masih saat ini rutin dilaksanakan oleh masyarakat Jawa
tepatnya di daerah Tegal,Jawa Tengah yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir
di bulan Shafar. Penulis menemukan
beberapa variasi pandangan ataupun tanggapan masyarakat Tegal tentang
pelaksanaan tradisi Rabu Pungkasan,variasi pandangan tersebut tentu saja
diikuti oleh beberapa faktor, di antaranya adalah tingkat ekonomi pendidikan
dan wawasan keislaman. Latar belakang inilah yang banyak mempengaruhi idealisme
maupun pola pikir masyarakat dalam menilai suatu peristiwa, khususnya tradisi Rebo
Wekasan menurut pandangan Islam
di Kabupaten Tegal khususnya.
Pada saat ini pelaksanaan tradisi Rabu Pungkasan banyak terjadi Pro- Kontra mengenai hal
ini,berbagai opini oleh para ulama setempat menjadi dasar dari adanya tradisi tersebut.akan
tetapi kebanyakan dari masyarakat daerah Tegal asli melaksakan tradisi Rebo kasan (sebutan untuk masyarakat Tegal) atas dasar dari tradisi
turun temurun nenek moyang yang
masing-masing memiliki alasan yang
berbeda-beda. Maka dari itu lah penulis akan melakukan pembahasan dari tradisi Rabu Pungkasan menurut Pandangan
Islam dalam penulisan makalah kali ini.
PEMBAHASAN
Sejarah
Rabu Pungkasan
Apabila
dilihat dari praktik dan pelaksanaan tradisi Rebo Wekasan,serta dipahami
dari cara pandang masyarakat setempat yang masih menghargai dan melaksanakan
ritual tersebut, maka pada dasarnya tradisi Rebo Wekasan merupakan
sebuah ritual yang diajarkan oleh Islam. Yaitu mengadakan do’a bersama untuk
meminta perlindungan kepada Allah“Sejarah Rebo Wekasan tersebut
berdasarkan ulama-ulama kuno.Sebelum Nabi Muhammad lahir, pada bulan Safar di
tanah Arab terdapat orang-orang kafir yang berunding untuk membuat ka’bah
(tandingan). Tujuannya agar orang-orang sekitarnya mau pindah untuk tawaf di
Ka’bah yang mereka buat, yang dipimpin oleh Raja Abrahah. Orang-orang kafir ini
melihat bangunan Ka’bah yang dibuat Nabi Ibrahim as., banyak orang-orang yang
mengunjunginya untuk mengelilingi Ka’bah tersebut. Tetapi bangunan yang dibuat
orang-orang kafir tidak ada satu pun yang mengunjunginya, sehingga mereka marah
dan berusaha untuk menghancurkan Ka’bah dengan membuat pasukan untuk merobohkan
Ka’bah tersebut. Sementara di Ka’bah, saat itu, Sayid Abu Thalib berdo’a
(bangunan ini bukan punyaku, tetapi punyaAllah). Beliau melakukan shalat
munajat untuk menolak balak,”.
Pada
tanggal 12 Maulid orang-orang kafir menyerang ka’bah, tetapi Allah menurunkan
bantuan dan keajaibannya dengan mendatangkan burung Ababil yang menjatuhi
orang-orang kafir dengan kerikil. Akhirnya Ka’bah selamat dari serangan
orang-orang kafir, sehingga balak yang akan datang itu tidak jadi, karena Sayid
Abu Thalib telah melakukan munajat dan shalat tolak balakn dan doa kepada
Allah. Dan semuanya selamat dari bencana. Asy-Syaikh Ahmad ad-Dairabi dalam
kitab Mujarabat-nya mengatakan sebagian ulama ahli ma’rifah menerangkan,
bahwa setiap tahun diturunkan ke alam dunia tiga ratus dua puluh ribu musibah.
Semua musibah itu diturunkan pada hari Rabu akhir bulan Safar. Maka hari itu
adalah hari yang paling berat dibandingkan dengan hari-hari dalam setahun.
Barangsiapa melaksanakan shalat sunat empat rekaat dengan dua salam pada hari
itu, setiap rakaatnya sesudah membaca surat al-Fatikhah, membaca surat
al-Kautsar sebanyak sebanyak tujuh belas kali, surat al-Ikhlas sebanyak lima
kali, surat al-Falaq dan surat an-Nash masing-masing sekali, maka dengan
kemuliaan Allah SWT., akan melindungi ia
dari segala musibah dan bencana yang turun pada hari itu, ia tidak akan
tertimpa musibah selama satu tahun penuh.
Pandangan
Islam Mengenai Tradisi Rabu Pungkas
Sebagian
kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala’, musibah dan
itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Sehingga dalam upaya
tolak bala’ darinya, diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu. Di
antara ritual tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at -yang
diistilahkan dengan shalat sunnah lidaf’il bala’ (shalat sunnah untuk menolak
bala’)- yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq (setelah
terbit matahari) dengan satu kali salam. Dan timbulah
keyakinan bahwa barang siapa yang pada hari itu melakukan ritual tersebut, maka
dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun diketika
itu.
Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah
karangan Syaikh Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di Masjidil
Haram Makkah Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama
‘arifin dari ahli mukasyafah bahwa pada setiap tahun akan turun 360.000
malapetaka dan 20.000 bahaya, yang turunnya pada setiap hari Rabu terakhir
bulan Shafar. Bagi yang shalat pada hari itu dengan tata cara sebagaimana tersebut di
atas, maka akan selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut. Mungkin
inilah yang dijadikan dasar hukum tentang disyari’atkan ritual di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun ternyata amaliyah yang
demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Generasi salaf dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak
pernah melakukan apalagi mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi
setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik.
Keyakinan tentang Rebo Wekasan sebagai hari
turunnya bala’ dan musibah adalah keyakinan yang batil. Lebih batil lagi
karena berangkat dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah ritual tertentu untuk
menolak bala’ dengan tata cara yang disebutkan di atas. Sementara
keyakinan dan ritual tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan
tidak pula dicontohkan oleh para imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik
bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula mereka membimbing dan
mengajak para murid serta pengikut madzhabnya untuk melakukan yang demikian.
C. Dasar
hukum dari Tradisi Rabu Pungkasan
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000
bala’, musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000 malapetaka dan
20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Sehingga
dalam upaya tolak bala’ darinya, diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari
itu. Di antara ritual tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at
-yang diistilahkan dengan shalat sunnah lidaf’il bala’ (shalat sunnah untuk
menolak bala’)- yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq
(setelah terbit matahari) dengan satu kali salam. Pada setiap raka’at membaca
surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali
(dalam referensi lain 5 kali), Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan surat
An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca sebanyak 360 kali ayat
ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:
وَاللَّهُ
غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ.
Artinya :“Dan Allah berkuasa terhadap
urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Kemudian ditambah dengan Jauharatul
Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182)
berikut:
سُبْحَانَ
رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Artinya: “Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual
tersebut, maka dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang
turun ketika itu”
Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada fakir
miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat rajah-rajah dengan
model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur,
bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.
Dalam
sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah karangan Syaikh
Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah
Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli
mukasyafah bahwa pada setiap tahun akan turun 360.000 malapetaka dan 20.000
bahaya, yang turunnya pada setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Bagi yang
shalat pada hari itu dengan tata cara sebagaimana tersebut di atas, maka akan
selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut.
Mungkin inilah yang dijadikan dasar hukum tentang
‘disyari’atkannya’ ritual di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun ternyata
amaliyah yang demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi salaf dari kalangan
shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak pernah melakukan apalagi
mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi setelahnya yang
senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik.
.
Kesimpulan
Berdasakan
pembahasan makalah diatas, dapat kami simpulkan bahwa tradisi Rabu Pungkasan
merupakan keyakinan tentang Rebo Wekasan sebagai hari
turunnya bala’ dan musibah adalah keyakinan yang batil. Lebih batil lagi karena
berangkat dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah ritual tertentu untuk
menolak bala’ dengan tata cara yang disebutkan di atas. Sementara
keyakinan dan ritual tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan
tidak pula dicontohkan oleh para imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik
bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula mereka membimbing dan
mengajak para murid serta pengikut madzhabnya untuk melakukan yang demikian. Semoga Allah
subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum muslimin dari berbagai
penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.
.
Saran
Berdasarkan pembahasan makalah diatas, kami sebagai penulis memberikan
saran kepada pembaca, Pada dasarnya tradisi Rabu Pungkasan merupakan tradisi
turun temurun dari nenek moyang, tradisi tersebut boleh apabila dilestarikan,
namun kita harus bisa merubah mindset bahwa tradisi Rabu Pungkasan hanyalah
sebuah tradisi, dan kita sebagai masyarakat diperbolehkan untuk mengakui bahwa
tradisi itu ada namun alangkah baiknya kita tidak perlu melakukan dan
meyakininya. Sebagai
orang beriman dan meyakini bahwa sumber syariat adalah Al-Quran dan sunah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu saja berita semacam ini tidak boleh kita
percaya. Karena kedatangan bencana di muka bumi ini, merupakan sesuatu yang
ghaib dan tidak ada yang tahu kecuali Allah.
Blog Archive
-
▼
2016
(11)
-
▼
August
(11)
- Makalah Kebakaran Hutan
- Makalah Efek Rumah Kaca
- Terorisme dan Ketahanan Nasional
- Pelaksanaan HAM di Indonesia
- Contoh Business Plan in English
- Angka Putus Sekolah di Indonesia
- Makalah Pengaruh Narkoba Terhadap Kehidupan Masa D...
- PANDANGAN ISLAM TENTANG KEBUDAYAAN PERINGATAN KEMA...
- Rabu Wekasan
- Contoh Soal Hubungan Linier
- Analisis Usaha dengan Metode 7W
-
▼
August
(11)